SEBUT AKU SI
PENJUAL KERAK TELOR
“Timehhhhhhhhhhhhhh…” teriak Emak memanggil
ku. Aku tahu pagi ini aku harus bangun lebih pagi dari biasanya. Sebagai penjual kerak telor, di hari minggu
menjadi persaingan paling ketat. Dimana
siapa yang banyak pembeli maka itulah yang akan menjadi pemegang kuasa kerak
telor. Karena orang orang akan lebih
suka dengan penjual yang terdapat banyak pembeli. Memang sedikit mengherankan
orang orang tersebut, tetapi begitulah kenyataan nya.
“Meh, elu ntar pulang duluan aje. Elu mau
pegih kan yak?” kata Babe sambil menyeruput kopi hitam nya. Bajunya yang belum
disetrika menimbulkan kesan kerut yang sama seperti wajahnya.
Terkadang aku sangat kasihan terhadapnya,
usia nya yang sudah melewati umur 60 tak sebanding dengan kegigihanya untuk
menafkahi keluargaku. Namun, mau dikatakan apalagi jika kenyataan nya aku belum
tamat sekolah SMA. Terpaksa setiap minggu harus membantunya berjualan kerak
telor. Keahliannya sebagai penjual kerak telor sudah turun temurun. Tetapi
sayang, aku tak bisa melanjutkan warisan tersebut karena aku satu satunya
keturunan yang menentang keras warisan itu. Aku malu dan tidak ingin menjadi
penjual kerak telor. Terlebih lagi aku hanya anak angkat Babe dan Emak. Ya, aku
bukan anak mereka. Mereka tak bisa punya anak.
“Fatimah?” sahut seorang yang melangkah
agak ragu kearahku. Aku mengenal jelas suara itu. Aku pun langsung menoleh.
“Mylan? Lu kok ada disini pagi pagi?”
jawabku yang mulai merasa gengsi. Wajahku tak ingin menatap perempuan itu. Dia
teman sekelasku. Dia satu satunya anak orang asing yang ada disekolahku. Paras
nya yang cantik membuatku semakin iri. “Sudah anak orang kaya, cantik, popular
pula.” Kataku dalam hati.
“Kamu sejak kapan jualan, kamu memang
jualan apa?” pertanyaan yang membuatku tambah malu.
Aku hanya menjawab seadanya. “sejak tadi
pagi, ini kerak telor, makanan khas betawi.” suaraku sedikit tidak menyakinkan.
Babe hanya diam dan sibuk menyiapkan pesanan. Dia sudah tahu watakku yang
gengsi menjadi penjual kerak telor.
Mylan tak banyak bertanya lagi dan pergi
meninggalkanku bersama Babe. “Aku pergi dulu ya, bye…”
*******************
Aku menyiapkan beberapa jawaban yang akan
ditanyakan teman teman, jika mereka mempertanyakan keberadaan ku kemarin. Aku
tahu Mylan akan menceritakan semua yang dia lihat. Dia popular karena gaya nya
yang suka menceritakan semua yang dilihatnya. Dia sangat terbuka kepada setiap
orang dan aku yakin ia akan membeberkan nya ke penjuru kelas.
“Mylan, kemaren kamu jadi ke daerah Kota
Tua?”
“Myl, gimana kesan kesan kamu disana?”
“Ih, cerita cerita dong Myl…”
Telingaku penuh dengan semua pertanyaan
teman teman. Kumpulan jawaban yang tadi sudah ku siapkan seakan meledak dan tak
bisa tersusun rapih lagi. Kututupi wajahku, seakan aku telah melakukan kesalahan besar. Aku benar
benar malu jika mereka semua tahu aku seorang penjual kerak telor. Bisa bisa aku menjadi bahan bully mereka.
“Aku kemaren melihat Fatimah sedang
berjualan, tapi aku enggak tahu dia jual apa.” cerita Mylan pada mereka. Mereka
heran dan langsung melihat kearah tempat dudukku. “Fatimah? Jualan?”. Wajahku
sudah tertutupi oleh tas hitam milik Rani. Sengaja agar mereka tak langsung
bertanya padaku. Dan akhirnya bel masuk pun berbunyi. Aku sedikit lebih tenang.
Seusai semua pelajaran aku pun langsung
pulang dengan terburu-buru. Aku tak punya banyak teman, jadi aku terbiasa
sendirian. Aku masih tak bisa tenang jika topik tentang jati diriku yang
sebenarnya terungkap. Aku benar benar tak tahan menahan gengsi ini. Seakan
perasaan malu ini tak bisa dimaafkan oleh diriku sendiri. aku tak bisa berpikir
apapun jika nanti mereka tahu aku si penjual kerak telor. Bagaimana jika semua
orang tahu aku penjual kerak telor? Semua orang disekolah tahu? aku akan
terbully? Mereka akan menertawakanku? Mereka akan mengejekku?
“Timeh, bantuin emak ngulek bumbu ye, emak
mau sholat ashar dulu.” emak membuat pertanyaan tadi semakin bertambah. Semakin
banyak dan semakin jelas. Aku tak bisa diam, pikiranku kacau. Pelajaran hari
ini pun tak ada yang masuk kedalam ingatanku.
“Meh, elu ngape jadi bengong begitu? ada
masalah disekolah? Cerita ama emak.” Aku tak menjawab pertanyaan nya. Aku
menyesal punya emak dan babe seperti mereka. Mereka hanya membuatku malu.
Sekarang aku akan ditertawakan oleh teman teman. Dan aku tak bisa punya teman
lagi. Kebanyakan mereka adalah orang kaya raya. Aku bersekolah disana karena
mendapat beasiswa. Aku hanya anak
penjual kerak telor dan anak yang mengandalkan kepintarannya. Sedangkan mereka
orang orang yang punya banyak uang. Mereka mungkin jijik berteman orang miskin
sepertiku. Aku benar benar takut sekarang.
“Timeh benci jadi anak penjual kerak telor.
Timeh kagak mau jadi orang miskin. Timeh maunya diangkat sama orang kaya. Timeh
kagak mau punya orangtua yang udah kakek kakek sama nenek nenek kaya kalian.
Timeh benci dikatakatain.” Aku melampiaskan semua perasaan ini didepan Emak.
Tiba tiba Babe muncul. “Timeh, maapin Babe
ama Emak kagak bisa kasih elu kekayaan. Timeh boleh benci, tapi kite sebagai
orangtua kagak bisa benci ama elu. Kite sayang ama elu meh, meskipun elu bukan
anak kandung kite. Kite emang orang miskin. Tapi kite udah berusaha buat jadi
orangtua yang terbaek buat elu meh. Sekarang terserah elu aje deh. ” jelas Babe
sambil menangis.
“Astagfirullah, maapin Timeh beh. Maapin
Timeh mak.” Akupun menangis sambil memeluk mereka. Emak juga ikut menangis. Aku tersadar oleh
ketulusan mereka. Mereka yang menyayangiku tanpa pamrih tak pernah kuhiraukan. Aku
terlalu egois dengan kegengsian yang kumiliki. Seharusnya aku tahu merekalah
yang berjasa dalam hidupku. Saat aku sendirian di kolong jembatan, mereka lah yang menatapku dengan penuh kasih
dan sayang. Namun, aku tak pernah membalasnya.
“kite udeh pasti maapin elu Timeh…” kata
Babe menghapus air mata nya.
Sekarang aku sudah tak peduli bagaimana
teman teman akan berkomentar. Aku sudah sadar kalau tidak ada Babe dan Emak
maka aku tak akan berada di sekolah ini. Tiba tiba Mylan pun mendekatiku
“Fatimah, kamu kemarin jualan kerak telor ya? makanan khas betawi kan?”
Aku tak akan menutupi kebenarannya. “iya,
lu pernah nyoba engga? Enak lho!”
“hmm… enak banget, hebat kamu bisa
melestarikan makanan khas itu, aku bangga punya temen kaya kamu. Kapan kapan
kamu jualan aja disekolah ini. Aku yakin pasti banyak yang suka.” Aku hanya
diam. Mylan membuatku takjub, tak seperti yang kubayangkan. Aku tak tahu harus
senang atau apa. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Eh temen temen sekarang panggil Fatimah
PENJUAL KERAK TELOR ya.” Mylan teriak dan semuapun menoleh kearahnya. Mereka
tertawa sedangkan aku hanya tersenyum. Tak perlu risau karena malu, tetapi
tersenyumlah barangkali aku akan dibanjiri pembeli. J
KARYA : EMILIA AGUSTINA