Minggu, 07 Juni 2015

cerita pendek: fiksi

SEBUT AKU SI PENJUAL KERAK TELOR


“Timehhhhhhhhhhhhhh…” teriak Emak memanggil ku. Aku tahu pagi ini aku harus bangun lebih pagi dari biasanya.  Sebagai penjual kerak telor, di hari minggu menjadi persaingan paling ketat.  Dimana siapa yang banyak pembeli maka itulah yang akan menjadi pemegang kuasa kerak telor.  Karena orang orang akan lebih suka dengan penjual yang terdapat banyak pembeli. Memang sedikit mengherankan orang orang tersebut, tetapi begitulah kenyataan nya.

“Meh, elu ntar pulang duluan aje. Elu mau pegih kan yak?” kata Babe sambil menyeruput kopi hitam nya. Bajunya yang belum disetrika menimbulkan kesan kerut yang sama seperti wajahnya.

Terkadang aku sangat kasihan terhadapnya, usia nya yang sudah melewati umur 60 tak sebanding dengan kegigihanya untuk menafkahi keluargaku. Namun, mau dikatakan apalagi jika kenyataan nya aku belum tamat sekolah SMA. Terpaksa setiap minggu harus membantunya berjualan kerak telor. Keahliannya sebagai penjual kerak telor sudah turun temurun. Tetapi sayang, aku tak bisa melanjutkan warisan tersebut karena aku satu satunya keturunan yang menentang keras warisan itu. Aku malu dan tidak ingin menjadi penjual kerak telor. Terlebih lagi aku hanya anak angkat Babe dan Emak. Ya, aku bukan anak mereka. Mereka tak bisa punya anak.

“Fatimah?” sahut seorang yang melangkah agak ragu kearahku. Aku mengenal jelas suara itu. Aku pun langsung menoleh.

“Mylan? Lu kok ada disini pagi pagi?” jawabku yang mulai merasa gengsi. Wajahku tak ingin menatap perempuan itu. Dia teman sekelasku. Dia satu satunya anak orang asing yang ada disekolahku. Paras nya yang cantik membuatku semakin iri. “Sudah anak orang kaya, cantik, popular pula.” Kataku dalam hati.

“Kamu sejak kapan jualan, kamu memang jualan apa?” pertanyaan yang membuatku tambah malu.
Aku hanya menjawab seadanya. “sejak tadi pagi, ini kerak telor, makanan khas betawi.” suaraku sedikit tidak menyakinkan. Babe hanya diam dan sibuk menyiapkan pesanan. Dia sudah tahu watakku yang gengsi menjadi penjual kerak telor.

Mylan tak banyak bertanya lagi dan pergi meninggalkanku bersama Babe. “Aku pergi dulu ya, bye…”

******************* 

Aku menyiapkan beberapa jawaban yang akan ditanyakan teman teman, jika mereka mempertanyakan keberadaan ku kemarin. Aku tahu Mylan akan menceritakan semua yang dia lihat. Dia popular karena gaya nya yang suka menceritakan semua yang dilihatnya. Dia sangat terbuka kepada setiap orang dan aku yakin ia akan membeberkan nya ke penjuru kelas.

“Mylan, kemaren kamu jadi ke daerah Kota Tua?”  
“Myl, gimana kesan kesan kamu disana?”
“Ih, cerita cerita dong Myl…”

Telingaku penuh dengan semua pertanyaan teman teman. Kumpulan jawaban yang tadi sudah ku siapkan seakan meledak dan tak bisa tersusun rapih lagi. Kututupi wajahku, seakan aku telah melakukan kesalahan besar. Aku benar benar malu jika mereka semua tahu aku seorang penjual kerak telor.  Bisa bisa aku menjadi bahan bully mereka.

“Aku kemaren melihat Fatimah sedang berjualan, tapi aku enggak tahu dia jual apa.” cerita Mylan pada mereka. Mereka heran dan langsung melihat kearah tempat dudukku. “Fatimah? Jualan?”. Wajahku sudah tertutupi oleh tas hitam milik Rani. Sengaja agar mereka tak langsung bertanya padaku. Dan akhirnya bel masuk pun berbunyi. Aku sedikit lebih tenang.

Seusai semua pelajaran aku pun langsung pulang dengan terburu-buru. Aku tak punya banyak teman, jadi aku terbiasa sendirian. Aku masih tak bisa tenang jika topik tentang jati diriku yang sebenarnya terungkap. Aku benar benar tak tahan menahan gengsi ini. Seakan perasaan malu ini tak bisa dimaafkan oleh diriku sendiri. aku tak bisa berpikir apapun jika nanti mereka tahu aku si penjual kerak telor. Bagaimana jika semua orang tahu aku penjual kerak telor? Semua orang disekolah tahu? aku akan terbully? Mereka akan menertawakanku? Mereka akan mengejekku?

“Timeh, bantuin emak ngulek bumbu ye, emak mau sholat ashar dulu.” emak membuat pertanyaan tadi semakin bertambah. Semakin banyak dan semakin jelas. Aku tak bisa diam, pikiranku kacau. Pelajaran hari ini pun tak ada yang masuk kedalam ingatanku.

“Meh, elu ngape jadi bengong begitu? ada masalah disekolah? Cerita ama emak.” Aku tak menjawab pertanyaan nya. Aku menyesal punya emak dan babe seperti mereka. Mereka hanya membuatku malu. Sekarang aku akan ditertawakan oleh teman teman. Dan aku tak bisa punya teman lagi. Kebanyakan mereka adalah orang kaya raya. Aku bersekolah disana karena mendapat beasiswa.       Aku hanya anak penjual kerak telor dan anak yang mengandalkan kepintarannya. Sedangkan mereka orang orang yang punya banyak uang. Mereka mungkin jijik berteman orang miskin sepertiku. Aku benar benar takut sekarang.

“Timeh benci jadi anak penjual kerak telor. Timeh kagak mau jadi orang miskin. Timeh maunya diangkat sama orang kaya. Timeh kagak mau punya orangtua yang udah kakek kakek sama nenek nenek kaya kalian. Timeh benci dikatakatain.” Aku melampiaskan semua perasaan ini didepan Emak.

Tiba tiba Babe muncul. “Timeh, maapin Babe ama Emak kagak bisa kasih elu kekayaan. Timeh boleh benci, tapi kite sebagai orangtua kagak bisa benci ama elu. Kite sayang ama elu meh, meskipun elu bukan anak kandung kite. Kite emang orang miskin. Tapi kite udah berusaha buat jadi orangtua yang terbaek buat elu meh. Sekarang terserah elu aje deh. ” jelas Babe sambil menangis.

“Astagfirullah, maapin Timeh beh. Maapin Timeh mak.” Akupun menangis sambil memeluk mereka.   Emak juga ikut menangis. Aku tersadar oleh ketulusan mereka. Mereka yang menyayangiku tanpa pamrih tak pernah kuhiraukan. Aku terlalu egois dengan kegengsian yang kumiliki. Seharusnya aku tahu merekalah yang berjasa dalam hidupku. Saat aku sendirian di kolong jembatan, mereka lah yang menatapku dengan penuh kasih dan sayang. Namun, aku tak pernah membalasnya.

“kite udeh pasti maapin elu Timeh…” kata Babe menghapus air mata nya.

Sekarang aku sudah tak peduli bagaimana teman teman akan berkomentar. Aku sudah sadar kalau tidak ada Babe dan Emak maka aku tak akan berada di sekolah ini. Tiba tiba Mylan pun mendekatiku “Fatimah, kamu kemarin jualan kerak telor ya? makanan khas betawi kan?”

Aku tak akan menutupi kebenarannya. “iya, lu pernah nyoba engga? Enak lho!”

“hmm… enak banget, hebat kamu bisa melestarikan makanan khas itu, aku bangga punya temen kaya kamu. Kapan kapan kamu jualan aja disekolah ini. Aku yakin pasti banyak yang suka.” Aku hanya diam. Mylan membuatku takjub, tak seperti yang kubayangkan. Aku tak tahu harus senang atau apa. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Eh temen temen sekarang panggil Fatimah PENJUAL KERAK TELOR ya.” Mylan teriak dan semuapun menoleh kearahnya. Mereka tertawa sedangkan aku hanya tersenyum. Tak perlu risau karena malu, tetapi tersenyumlah barangkali aku akan dibanjiri pembeli. J



KARYA : EMILIA AGUSTINA

puisi bermakna 3

AKU CEMBURU

Bengkak kemerahan
Berhamburan semua kepingan
Jarum berserakan
Menghujam dalam perasaan

Mengapa aku merasa lelah
Seperti kaca yang ingin pecah
Jantungku menari dengan lincah
Mungkin hatiku sudah patah

Sepertinya aku ingin  lari
Lari mengejar  mentari
Aku tak bisa berhenti

Dan tak lelah  mengutuk diri


karya : Emilia Agustina

puisi bermakna 3

AKU CEMBURU

Bengkak kemerahan
Berhamburan semua kepingan
Jarum berserakan
Menghujam dalam perasaan

Mengapa aku merasa lelah
Seperti kaca yang ingin pecah
Jantungku menari dengan lincah
Mungkin hatiku sudah patah

Sepertinya aku ingin  lari
Lari mengejar  mentari
Aku tak bisa berhenti

Dan tak lelah  mengutuk diri


karya : Emilia Agustina

Rabu, 29 Oktober 2014

puisi bermakna 2



Andai aku adalah embun
karya : Emilia Agustina


embun pagi menetes utuh
melihat nya begitu semu
masih dingin tak tersentuh
jatuh meresap dalam debu

bagaimana membuat embun
berkhayal dan berlamun
bersihkan dirinya tanpa sabun
dan kering seperti gurun

pantun motivasi








karya emilia agustina